Minggu, 17 Mei 2009

BIRAMA CINTA By Momons

Dalam malam kuberdiri diantara badai. Siang, ku tak bisa meneduh dalam hujan. Aku manusia, hidup mematung tak bisa mendapati gerak. Aku hidup, tapi tak lagi dapat kau menemukanku dengan satu indra. Aku bergerak sendat, diantara gertakan- gertakan guruh manusiawi masa lalu. Acap kali menyayat poros jiwa dengan indra dengar. Aku tlah habis pikir untuk menemukan pandanganmu kembali. Aku tak percaya kau membesarkan ego, aku tak pernah menyangkal kau lari dengannya. Karena hati tlah terbubuh cinta sangat merba meski hati perih rasa. Nafasku hanya tersisa beberapa bait untuk ku hembus. Jantung pun tak lagi berdenyut wajar. Hati semakin berat berharap, tapi mata tak dapat aku lihat dalam gelap waktu aku mengharap datang. Mana dirimu dengan cintamu itu? Mana kesaksianmu yang selalu akan disisiku? itulah pertanyaanku semasa aku masih dapat berkedip lancang. Pagi mentari menyambutku dalam cerita itu, tapi tiada pagi yang dapat aku jamah. Panas dinginnya hari itu aku tak lagi mendapati nafas dalam takdirku.Maafkan aku yang telah pergi dari genggamanmu meski tiada hati untuk berharap. Berbalut putih untuk menghadap, melepaskan cinta yang tak kunjung datang.

Sepenggal cerita saat aku terkedip sesaat dan terpejam kemudian untuk selamanya. Saat aku masih menyadari bahwa yang dimiliki tak pernah akan abadi, namun hanya perasaan yang dapat terjaga dalam keabadian. Anugerahku hanya cinta yang diberikan. Takdirkupun hanya terbatas sesaat senja, masih harus terombang- ambing dalam kelu- kelu balurluka. Mungkin hanya maya yang penuh murka ini yang selalu mengebiriku dalam asa durja,mungkin juga hanya rasa fatamorgana yang tercipta, dan mungkin karna hanya sesaat senja peradaban usiaku yang tak cukup untuk menghapus dosa- dosa itu. Hidupku hanyalah ilalang yang penuh nestapa, symphoni- symphoniku hilang ditalan murka, birama- birama hidupkupun kalang kabut senja. Mengapa segalanya senja?'' Karena senja hanyalah sesaat'' Hanya tinggal gending- gending yang menggertak kalut hancurkan jiwa. Bunga hati itu masih dalam mimpi. Bunga hati yang dapat menghapus intilisi- intilisi senja, juga agonia jiwa sekalian dengan maaf- maafmu dan dengan memento abadi.

Kembali aku bergulir di kota ini, dimana berrajut- rajut rakyat kecil berrebut oksigen untuk berkelangsungan hidup. Meski sisa- sisa para peninggi kota dengan lalapan asap pabrik- pabrik dan gas- gas CO lainya. Meskipun demikian mereka tetap hidup riang dengan senyum- senyum bunga nyungirnya. Semuanya pastilah karena kebersamaan, dan tak ada 0 interaksi disini.

Diatas meja jati, dibawah naungan kenting hitam memudar diantara bambu- bambu penyangga yang nyaris meleset dan ambruk. Aku kembali berkisah merajut benang- benang takdir cinta, sangat membosankan bagi mereka. Masih pada Fia. Masih dengan pena perilis hati kurangkai bersama angin- angin ilalang dari clah- celah jendela reot. Kubujuk jemari- jemariku untuk menari dengan selendang pena.

Pagi ini terangkai begitu indah, seakan awal bersemi untuk selamanya. Tak akan pernah gugur. Aapalagi gersang. Aku adalah fino yang sedang menyandang kebahagiaan mendalam di akhir pekan ini. Mungkin sampai awal lagi dan sampai akhir kembali.

Logikaku tersumbat karang dengki kontribusi alergi. Mulut mati tak bersua satu bahasa pun. Hanya terdiam mematung bak wayang tanpa dalang. Aku mencintainya hingga saat ini dan dari sejak dulu. Bersusah- susah dahulu bersenang- senang kemudian pun berbuah dan teralih menjadi semboyan diatas takdir- takdir cintaku tyang selama ini sembuh memar. Bersama usah peluhku, dalam cerita agonia aku meniti jalan berduri menyeruak. Hanya satu tujuanku menuju rumah hatimu. Mereka adalah rintangan. Prawan, janda yang kebang maupun ongkang- ongkang, yang manja dan genit. Semua adalah alasku untuk menghindari becek debu basah tyang berminggu- minggu tersiram hujan asam. Hingga akhirnya takdir cinta membawaku sampai rumahmu. Sebuah rumah yang menyelinap diantara memento- memento hati. Pintunya yang indah sumringah basah didasar bibir dilemamu. Ditepian pantai basah gelisah kusandarkan rinduku. Dua setengah tahun rindu dengan cinta yang hijrah tak kunjung pulang. Merindukah dia seperti rasa yang aku rindukan?Begitulah katanya. Kini segalanya telah ditanya dan terjawab diantara ambang lamanya diri ini malang melintang mencinta dalam keganjalan. Ada setitik rasa tanpa identitas. Dan kini aku telah pergi darinya dalam nyata.

Aku rindu 28 february, bukan juga itu jum’at pahing, ban bocor, sok tau, sekalian orangnya yang berkesangkutan.

Fia Anandita. Masih sebagai janji cinta dalam gulir hati sesungguhnya. Masih senyum kupu- kupu manjanya hambur beterbangan mengelokan jiwa dibalik agonia rasa. Masih denganmu aku melewati mimpi, didalamnya kau jelmaan peri lugu bermata bening purnama. Berjuta citra rasa hati tlah ada diatas cinta. Akhirnya Finolah yang akan menjadi Janakanya Srikandhi Fia. Of course.

Hingga seperti saat ini kita telah menyatu dalam satu purnama dilentera kalbu. Dan yang pahit dua setengah tahun silam tlah sirna tertimbun karang di pantaian senja itu.

Dari hati tlah kembali menumbuhkan kembali gelora- gelora cinta tak bertepi. Namun masih seperti yang selalu aku lamunkan dalam bulir lamun ngilu. “ Kebahagiaanku hanyalah sesaat senja, dan balauku sepanjang malam. Bebatuan yang telah menolongku sekejap berubah menjelma jadi duri dan pecahan kaca. Aku tak tahu mengapa mereka berubah, karena malam begitu gelap, tak satupun lintang- lintang ia pancarkan. Tentu mataku tak melihat kakiku bersimbah darah. Luka menjelma tak terasa karena rasa cintaku lebih untuk wanita ungu dirumah ujung sana meski takdir selalu meminta senja. Namun cintaku tak pernah senja. Gerhana adalah agonia, begitulah saat aku menjerit batin kesakitan.

Aku telah sampai didepan rumahmu lagi. Diantara gerbang senja semerbak wangi sayu. Fia menyambut muramku dengan senyum kupu- kupunya begitu indah malam ini. Muramkupun spontan hilang terhanyut senyum santun menyambutku.

Darahku semakin menyimbah menggenangi lempengan lantai putih suci. Pipiku musam oleh keruh air mata. Senyumnya hilang ditelan panik. Fia, padahal aku membutuhkan senyummu untuk menopang agonia yang merata dalam jiwa. Ia bertanya siapa, karena apa aku bisa seperti ini.

Tahun ini shio kerbau. Tapi lain adi zaman, melainkan adu kerbau, tapi adu domba. Ya, itulah kerbau berbulu domba, putih, anggun, elok tapi dalamnya hitam fitnah. Dari pejabat, knglomerat, saudagar, lover, semuanya menaiki domba lengkap dengan jas baja dan helm panci yang mereka curi dari dapur istrinya. Lidah bak samurai yang lentur tapi tajam, untuk bersilat. Begitu juga lover yang berlagak panah cupid enggan melukai dengan anak panah namun dengan samurai yang ia pegaskan dalam mataku, hingga sekujur tubuhku. Itulah penyimbah darah.

Kepalaku menyandar didasar bahu Fia. Srikandhi berdarah merah, bukan biru juga dingin. Mendekapku dengan selendang asmara maha kasih. M embius luka mati rasa. Tangannya lembut, santun membelai kasih.Bibirnya bertiup lantun maha gemulai diantara luka- luka teragonia salah satu dari perawan, janda kembang, maupun ongkang- ongkang yang genit dan manja bak selir Rahwana.

Fino terredam dalam peluknya. Mungkin ia sedang bermimpi tak sembarang mimpi. Ia mempersunting srikandi dalam nyata tapi mimpi. Tiada senja tiada gulita dalam mimpinya. Fino tersipu senyum kecil ditengah perjalanan maya hingga mengejar kupu- kupu kemudian ia terbangun.

Fino..Hari sudah tak senja lagi, sudah tak gelap lagi, lihatlah fajar cerah tersenyum padamu, pulanglah masih banyak yang kau tunda. Katanya santun mempesona. Nuansa fajar semakin menghilang, akupun melangkah kembali. Sudah tak kutemukan luka maupun memar. Srikandhi bukanlah seorang tabib, ia baru bercita- cita tapi sudah sehebat ini. Burung- burung tersenyum padaku dengan kucau riau, entah ada yang bermaksut mengejekku. Pagi ini aku sudah tidak lagi menemukan batu- batu itu.

Hari ini yang hijrah telah kembali, yang luka telah sembuh, yang pernah hilang telah kutemukan lagi. Begitu berharga, kan kutulis dengan tinta mas beralas putih kain sutra dari nirvana mimpi, bukan lagi dengan sepucuk kerta binder seperti biasanya.

Itulah mengapa hidup tak selalu lurus pada jalannya. Tak seperti doa yang terkabul takdirnya. Terkadang kita berharga lebih namun faktanya lain diharap.

Dari hati tlah kembali dengan cinta maha rama, meski terawal dari gertak- gertak kalut namun hati telah tenang agaknya. Segalanya telah kudekap hangat. Akan ku tanamkan kembali kejujuran- kejujuran indah membuai membahana sepanjang masa. Meski aku telah tiada lagi,bukan untuk meninggalkanmu. Hanya aku tak bisa menentang garis takdir-Nya. Kutinggalkan karya harsat jemariku ini untuk kau bingkaikan dilukisan- lukisan kisah mesra pekan lalu. Saat kau masih menari- nari denganku sebelum pesta kematianku. Hari sudah terang, berhentilah terpejam.

Sabtu, 28 Februari 2009

CERPEN from KAJEN CITY part II

LUKA YANG DITINGGALKAN BAPAK

By

HANAN NOVIANTI

Di zaman serba susah sekarang ini, tampaknya menjadi seorang pengangguran cuma hal biasa. Siapa pun bisa. Bapakkujuga bisa.Tapi bapakku ini pengacara, alias pengangguran banyak acara. Bangun pagi, eh, siang, kemudian minum kopi. Lalu mandi—tidak sampai lima menit—berangkat naik motor gedenya dengan baju kusut dan apek karena terlalu lama ditumpuk di lemari.

Bapakku luar biasa bangga dengan motor besarnya. Motqr harley, tapi sebenarnya cuma mirip dengan harley. Roda belakangnya besar seperti ban mobil. Menyetirnya membuat tangan kita pegal karena stangnya yang lebar. Kakakku bilang itu motor jadi-jadian. Itu memang motor jadi-jadian. Barang-barang rongsokan yang diutak-atik oleh bapak sehingga jadi motor. Tiap sore motor itu sudah nongkrong di depan rumah, siap untuk dilap sampai berkilau. Kenal atau tidak, setiap orang yang lewat disapa oleh Bapak supaya mereka melirik motor besar berwarna merah itu.

Selain hobi berputar-putar dengan harley (sebut saja harley, biar keren), bapakku.juga hobi mengumpulkan barang-barang rongsokan. Tukang abu gosok plus barang-barang bekas jadi sahabat karibnya. Apa saja dia kumpulkan. Mulai dari besi-besi tua, seng, kayu-kayu, bahkan kloset WC bekas. Penuhlah halaman belakang kami dengan koleksi barang-barangnya. Awalnya hanya halaman belakang. Lalu koleksinya semakin lama semakin bertambah, sehingga berubahlah ruang keluarga kamijadi ruang penyimpanan barang. Setelah itu, halaman depan pun tak ketinggalan Jadi etalase barang-barang rongsokan.

Masih banyak kebiasaan Bapak yang selalu jadi perbincangan buruk keluarga, bahkan tetangga. Bapak tidak pernah shalat. Selama ini yang mengajarkan kami shalat adalah Ibu. Bila diberitahu lbu,"Pak, shalat. Kita nggak boleh lupa sama yang di atas."bapakku akan bilang,°Nggakusah soktahu. Itu urusan Bapak sama tuhan," kadang kalimat itu diakhiri dengan bantingan pintu oleh Bapak.

Atau kebiasaan Bapak merokok. Sehari bisa habis dua bungkus. Dari mana uangnya? Ya ngutang. Bukan hanya sekali tukang warung depan rumah menagih utang rokok Bapak pada Ibu. Ibu malu, dibayarnya utang Bapak. Sudah lunas utang di warung depan, datang lag! tagihan dari tukang warung seberang jalan. Begitu terus, sampai-sampai warung-warung dekat rumah sudah hapal bahwa bapakku suka ngutang rokok. Entah di warung-warung yangjauh dari rumah. Dan semua utangnya Ibu yang membayar.

"PakJangan suka ngutang. Ibu malu ditagih terus. Akhirnya Ibu yang bayar," begitu kata Ibu.

"Siapa yang suruh bayarin utang Bapak?! Ntar Bapak bayar semua! Belagut Mentang-mentang Bapak nggak kerja!"

Lalu Bapak akan pergi dan pulang pagi.

Entahlah. Membicarakan kejelekannya seolah tak pernah habis, tapi begitulah bapakku. Ibu dan kakakku cuma bisa diam, geleng-geleng kepala atau menahan sesak di dada. Ibu sudah hilang bawelnya. Dulu ibu memang bawel.Tapi lama-lama bawelnya ditelan juga.Tarikan napas panjang menandakan bahwa dia sedang makan hati. Dan setiap hari dia makan hati. Kakak sudah hilang hormatnya. Diam bukan berarti hormat. Diam bisa berarti tidak peduli, tidak menganggap dia ada. Tapi dia ada, dan selalu menghabiskan laukdi meja makan sebelum anak-anak pulang sekolah.

Kakakku pernah bertanya/'lbu kok bisa-bisanya sama Bapak?" ia bertanya begitu karena sudah seminggu ini jatah ikan asinnya dimakan Bapak.

Ibu diam.

"Heran. Ibu orangnya alim gini kok bisa dapetorang kayak Bapak. Udah pengangguran, nggak pernah shalat, sok tahu, lagi."

Bukan hanya kakak, bahkan tetangga-tetangga pun heran. Ibu termasuk orang yang rajin beribadah. Pengetahuan agamanya cukup baik. Sering ibu diminta untukjadi pembicara di pengajian ibu-ibu kompleks kami. Namun ditanya begitu oleh kakak, lagi-lagi Ibu diam. Menghela napas panjang, lalu menatap kakakku. "Kalau Ibu nggak kawin sama Bapak, ya kamu nggak akan lahir."setelah itu Ibu ngeloyor pergi ke dapur.

Barangkali memang kakaklah yang paling tidak suka dengan Bapak. Bahkan kalau boleh dibilang, ia benci pada Bapak. Jika Bapak pulang, dia langsung pergi. Jika Bapak pergi, dia pulang. Bisa dipastikan, di mana ada Bapak, di situ pasti tidak ada kakak. Jika ada Bapak dan juga ada kakak, maka ributlah mereka berdua. Kalau aku sih (dan juga adikku) masih asyik-asyik saja. Di balik semua kebiasaan buruknya, Bapak tetap Bapak, yang suka mendongeng dan pandai bercerita.

Sampai suatu ketika.

Saat itu aku kelas dua SMP, untukukuran anak perempuan, aku cukup bandel. Aku ingat hari Senin, minggu pertama di bulan Oktober. Hari di mana aku paling malas sekolah. Sejak pagi sebelum berangkat, aku sudah berniat: aku mau bolos.Waktu berangkat aku bukannya turun di depan gerbang sekolah, tapi membiarkan diriku mengikuti rute angkot sampai ke terminal. Terus, sampai angkot itu kembali lagi melewati rute yang sama. Tiba di jalan utama dekat gang rumah, aku turun. Ongkosku tidak cukup untuk naik angkot seharian. Aku pulang. Ingin makan. Sudan kusiapkan alasan kalau ada orang di rumah dan bertanya, kenapa aku pulang cepat. Akan kujawab; terlambat, nggak boleh masuk. Gerbangnya sudah ditutup.

Aku pulang. Menurut perkiraanku, di rumah paling-paling cuma ada Asih, pembantuku, atau Bapak. Mungkin bapak masih tidur. Ibu dan kakakku pasti sudah pergi kerja, dan adikku di sekolah. Aku membuka pintu pagar yang diselot. Pintu depan rumah setengah terbuka. Di ruang tamu tak ada orang, begitu juga di ruang tengah. Radio yang ada di ruang tengah menyala, memperdengarkan sebuah lagu yang tak kukenal. Kubuka tudung saji di meja makan, masih ada telur dadar sisa sarapan tadi.Tapi sebelum makan, aku mau ganti baju dulu. Aku menuju kamar belakang, tempat Ibu menyimpan baju-baju, baikyang sudah diseterika maupun yang belum. Pintu kamar belakang tak pernah ditutup, tapi kali ini tertutup.

Aku membukanya, dan terlihatlah apa yang seharusnya tak terlihat.

Itu Bapak dan Asih. Itu Bapak dan Asih.

Aku tak pernah tahu, tapi aku mengerti. Aku tak tahu, tapi aku mengerti, aku tak seharusnya berada di situ. Dan mereka tak seharusnya begitu. Mereka kaget, aku juga kaget. Rasanya seperti diri terhantam mobil.Tak siap menghadapi apa yang telah terjadi. Rasanya jantung seperti berhenti berdenyut.Tapi tak mungkin, karena degup jantungku justru semakin cepat. Rasanya waktu berhenti berdetak, namun itu juga tak mungkin karena terdengar suara dentang jam. Entah jam berapa, yang pasti saat itu kudengarjelasjam di ruang tengah berdentang. Bunyianya amat keras.

Aku tak seharusnya berada di situ, maka segera ke kamarku. Aku tak ingat apakah aku menangis atau tidak. Setelah merasa seolah-olah jantung dan waktu berhenti, aku seperti berada di awang-awang. Di langit-langit rumah, namun tanpa atap.Tak ada batas. ' Tak ada di bumi, tak menginjak bumi.

Barangkali aku cuma diam, aku tak ingat. Yang aku ingat adalah tak lama setelah aku masuk kamar dan duduk di atas tempat tidur, pintu kamarku dibuka. Itu bapak. Bapak kemudian memelukku, menangis. Memelukku erat, membelai rambutku. Menangis dan berkata, 'Maafin Bapak, Rin. Maafin Bapak...bapak khilaf..."

Apa yang harus kukatakan? Sudah berapa kali kau khilaf? Aku tak punya kata-kata. Aku tak siap berkata-kata.

"Maafin Bapak.-.Bapak salah..." ucapnya sambil menangis, "...habis ibumu orangnya begitu..."

Kenapa Ibu? Kenapa Ibu yang kaubawa? Kenapa haws menyebutkan nama Ibu?

Bapak terus menangis, meminta maaf, membelaiku. Aku pun menangis, tapi tak bisa dijelaskan kenapa aku menangis. Kecewa? Marah? Sedih? Luka? Aku menangis sama halnya dengan Bapak menangis. Aku meneteskan air mata namun aku tak tahu mengapa aku meneteskan air mata. Hingga orang kedua datang masuk ke kamar.

Asih, masuk ke dalam kamar dan langsung memelukku. Menangis sesunggukan, menyandarkan kepalanya di bahuku. Berkata, "Maaf, Mbak Rin-Maafin Asih... Bapak yang nyuruh.-.Bapak yang ngajak..."

Jadi bapakku yang mengajcik.

"Jangan bilang Ibu, Mbak Rin...tolong, jangan bilang lbu..."dia melanjutkan di sela-sela tangisnya.

Jangan bilang Ibu? Tidak! Ibu harus tahu.

Dia tak akan memaafkanmu dan juga Bapak.

Ini terlalu menyakitkan. Ya, ini teramat menyakitkan. Oh, tidak! Betapa sakit hatiku kini terasa. Kini aku tahu mengapa aku menangis. Karena rasa sakit di hati ini! Tidak, Ibu tak perlu tahu. Sebab aku tak ingin dia merasakan rasa sakit seperti ini. Cukuplah ibu tahu Bapak tidak pernah shalat, cukuplah Ibu tahu Bapak suka ngutang di warung. Cukuplah Ibu tahu apa yang selama ini dia lihat. Dia tak perlu tahu apa yang tak pernah dia lihat. Cukuplah aku saja yang tahu, bahwa Bapak yang selama ini tak kukira buruk, ternyata memang seburuk itu.

Ini luka, cukuplah aku saja yang merasa.

Telah begitu banyak tahun-tahun yang membeku.Terlanjur membeku. Seiring rentang waktu, aku belajar menjadi seperti kakak. Diam. Diam yang bukan normal Diam karena amarah yang terlalu hebat untuk dilontar. Tapi aku tak bisa seperti kakak yang bisa langsung ngeloyor pergi begitu berdekatan dengan Bapak. Aku tetap di rumah, menemani Ibu. Berusaha menahan perih luka yang menganga setiap Kali aku melihat Bapak.

Biasanya Jika bapak bertaya padaku, aku akan diam saja. Atau kalau Bapak mengajakku berbicara, aku pun diam saja. Bapak masih sering mengantarku ke gang depan rumah dengan motornya pagi-pagi, untuk ke sekolah.Tapi yang ada di antara kami adalah kebekuan.

Kini aku tak berani menatap mata Ibu.Takut ia mengetahui rasa sakit di hatiku lewat sorot mataku. Aku juga tak pernah menatap mata Bapak. Barangkali enggan, atau juga tak mau ia tahu bahwa aku bend padanya. Bend?.

Ya, aku bend jika aku ingat peristiwa itu lagi.

Kata-kata maaf memang sudah terlontar dari mulutku, tapi maaf belum keluar dari hatiku. Hatiku masih penuh gejolak.Tapi, ternyata energi dari dalam hati memang tak bisa ditutupi.Tentu saja ia keluar tanpa kusadari. la terpancar lewat bungkam yang lama. Dan Ibu mengetahuinya.

"Kenapa kok sekarang sikapmu berubah sama Bapak?" Ibu bertanya. la berusaha menatap mataku, sambil menyiapkan makan untuk adikku. Semenjak Asih pergi, pekerjaan Ibu bertambah banyak. Asih pergi begitu saja, beberapa hari setelah peristiwa itu ia mengundurkan diri. Ingin merawat bapaknya di kampung, begitu alasannya pada Ibu.

Untuk sejenak aku terdiam. Lalu, "Berubah gimana?"

"Ya..." Ibu berpikir sebentar, "Kalau Bapak ajak ngobrol, kamu langsung pergi. Nggakjawab. Kalau Bapak tanyaJuga nggak pernah kamu jawab. Kenapa?"

Harus kujawab apa, Bu? Haruskah kujawab karena ia telah mengkhianatimu?

"Kok diam saja? Ada masalah apa sin sama Bapak?"

Masalah? Banyak.

Tap! pertanyaan itu hanya sanggup kujawab •dengan, "Nggak kenapa-kenapa. Lagi males ngomong aja," kuhindari pertanyaan Ibu dengan beranjak pergi. Itu yang selalu dilakukan oleh keluargaku. Menghindar. Menghindari keributan. Menghindari masalah. Walaupun kami tahu, kami hanya menumpuk beban yang seharusnya bisa kami selesaikan.

Namun aku telanjur bend pada Bapak. Dan aku amatsayang Ibu. ; Jadilah kubiarkan saja semua lewat, meski selalu kuingat.

"Kamu darimana aja?!" suara Bapak langsung meninggi begitu aku memasuki rumah. Aku tak menjawab. Aku tak pernah menganggap dia ada.

"Ditanya jangan diam aja! Jawab!"

Ya. Aku jawab. Aku jawab dengan menendang kursi meja makan. Sakit, tapi aku tidak peduli. Itulahjawabanku untuk Bapak. Jawaban kedua, bantingan pintu kamar.

"Rini!" Bapak masuk ke kamarku, memandang dengan matanya yang berkilat-kilat. Bahunya naik turun karena napasnya yang pendek terengah-engah. Melihat Bapak seperti itu aku jadi ingat dengusan napas yang sama. Ketika itu. Aku ingat Asih. Aku ingat Ibu dengan segala beban yang harus ditanggungnya. Aku ingat rasa sakit yang menghimpit kala itu. Rasa sakit itu kini tiba-tiba datang, persis sama. Bedanya, kini bapaklah yang terbelalak di pintu.

Sakit dan muak yang mendorongku berkata, "Apa?! Bapak mau ngomong apa?!

Ayo, ngomong! Ngomong! Ngomong aja!"

Dari raut wajahnya tampak ia kaget dengan kalimat yang terlontar dari mulutku. Mungkin ia kaget melihat aku yang selama ini diam, kini menjawabnya dengan bentakan keras. Aku pun kaget. Tapi saat itu aku tak peduli.

Bapak melanjutkan/'Kamu anggap bapakmu ini apa?! Hah?! Kamu nggak pernah anggap Bapak ada! Nggak pernah hormat sama Bapak! Ini bapakmu! Bapakmu!" dia memukul-mukul dadanya.

"Gimana Rini mau hormat, kalau...?"Ada Ibu muncul dari balik punggung Bapak. Matanya bukan lagi berkaca-kaca, tapi air mata itu telah menetes, keluar dari matanya yang merah dan sembab. la telah khawatir menungguku pulang. Lalu ia harus melihat aku bertengkar hebat dengan Bapak. Kini, apakah ia harus tahu kalau...

Aku tak berani melanjutkan kalimatku.

Bapak yang melihatku diam, kembali berbicara, kali ini dengan volume lebih pelan, namun dengan ada suara yang tetap tinggi. la tetap berdiri di ambang pintu itu. Berbicara sambil menunjuk-nunjuk dada.

"Ini bapakmu, Rin. Jelek-jeiek begini, Bapak”

tetap Bapak kamu. Sebenci-bencinya kamu sama ' Bapak, Bapak nggak akan pernah ninggalin kamu;., Nggak akan!"ia berhenti sejenak. "Bapak tuh sayang sama kamu. Kamu nggak pernah tahu..." Tangisnya mulai keluar, "Dalam hati Bapak, Bapak ( tuh selalu mikirin kamu, Kakak...mikirin adek..." la membalikan tubuhnya, kemudian berjalan pelan. "Bapak nggak akan pernah ninggalin kalian...." suaranya perlahan menghilang bersamaan dengan sosoknya yang menghilang ke balik pintu... "Nggak akan pernah ninggalin kalian semua...."ltu seperti suara bisikan pada diri sendiri, bukan ditujukan padaku. Kemudian sosoknya benar-benar tak kelihatan lagi. Hanya Ibu, yang berdiri terpaku dengan mata sembab dan basah, menangis sesunggukan, kemudian mendekapku.

Malam itu, aku tidurdalam dekapan Ibu. la mendekapku seolah ingin meraba hatiku, mengelusnya, dan menjaganya dari apapun yang bisa menggoresnya. la mendekapku seolah ingin berbagi luka. Tapi, Bu, ini luka, tak akan kubagi untukmu.

730 hari yang membeku. Begitu dingin membeku, hingga mungkin butuh badai topan panas untuk mencairkannya. Rentang waktu tak memberikan jejak apa pun. Hari ini tetap sama. Masih ada aku dan Ibu yang berada di rumah, telah terbiasa dengan helaan napas panjang tanda sesak yang dihempas ke dalam. Masih ada kakakyang pulang jika Bapak tak ada dan pergi jika Bapak ada. Ada adikku yang perlahan mulai mengerti bahwa ada kebekuan yang menjalar di hati-hati kami. Dan masih ada bapakku, motornya, rokoknya, serta koleksi barang rongsokannya.

Namun badai topan ternyata datang tebih cepat dari yang kubayangkan. la datang hari ini. Topan yang melahirkan gelegartak dinyana. Kupikir aku siap. Namun aku tak siap melihat tubuh terbujur kaku karena asap rokok yang terlalu lama meniupkan racunnya. Bapakku telah terbujur kaku saat aku pulang sekolah setelah mendengar kabar bahwa Bapak masuk rumah sakit.

Badai ini perlahan mengembunkan kabut dingin, memperlihatkan kenangan yang selama ini tampak seperti ilusi nun jauh di sana. Ya, di sana. -. la jauh, tapi terasa amat dekat. Menggambarkan jelas sosok ayahku ketika ia mendudukkanku di pangkuannya saat aku menangis karena tidak mau makan. la dudukkan aku di pangkuannya, lalu mulailah ia bercerita. Cerita yang membuatku terlena, hingga aku tak sadar, sudah lima suapan nasi masuk ke dalam mulutku.

Terlihat jelas juga saat-saat aku selalu menangis sewaktu aku tidak mendapati dirinya berada di sampingku kala aku terbangun dari tidur. Semakin jelas. Semakin jelas bayangan saat ia menyiapkan botol susu untukku, membuatkan susu, lalu ia tak akan memberikannya sebelum melihatku tersenyum. la paling suka melihatku tersenyum. Jika aku tersenyum, ia juga akan tersenyum.

Pak, mengapa cintamu kini begitu jelas? Apakah yang selama ini menutupi penglihatanku akan cintamu? Kabut apakah ituyang berwarna nila? Menyembunyikan putihjejak cintamu kala kemurnian masih segar, mekar dalam jiwa?

Jejakmu tak selamanya hitam, punjejakku tak semuanya putih.

Pak, aku meleleh.

Kebekuanku meleleh, namun dalam sepi. Semua orang telah pulang, seolah enggan berlama-lama mengantarkan kepergiannya. Ibu telah pulang, setelah berulang kali pingsan. Ibu teriihat begitu kehilangan, sehingga aku merasa, ibu past! amat mendntaimu. Kakak telah pulang, menemani ibu. Begitu juga adik.

Di sini sepi tanpamu.

Tidakkah kau sepi di sana? Sepikah kau di sana? Aku ingin menemanimu. Biarkan doaku senantiasa mengiringimu. Sebab cintamu kini sungguh jelas kulihat.Tak pemah rnati, mengiringku. Aku akan tersenyum, rneski kau memang pernah menorehkan luka.

Ini luka, biarlah kusembuhkan dengan doa………………

PUISI 6

HATI


Saat aku kirim surat

Ada getar dalam jiwa

Ingin aku berucap

Pada hati diseberang sana

Mungkinkah dia tahu

Apa yang ada disanubariku

Biar aku tak ragu

Mungkinkah dia balas surat dariku

Kukatakan apa yang ada dihati

Moga jadi apa yang dinanti

Ku berdo’a pada illahi

Jadikah dia pendamping hati

To : Nina

Jumat, 27 Februari 2009

CERPEN From KAJEN CITY

YOUR BROWNIES

By

WANDA KOIMAN

Dada Raffi naik turun; nahan kesel, gerah, sebel. Dia mondar-mandir, mulutnya ikut menggerutu, sementara matanya tetap mengamati kerumunan di kantin. Siang ini, setelah jam pelajaran, Aurel and the genk mengadakan pensi ala mereka. Musuh bebuyutan Raffi itu mengundang anak-anak kelas 1 sampai dengan kelas 3 yang termasuk dalam daftar pelanggan Raffi. Customer tetap yang setiap pagi menghabiskan 60 sampai 100 buah cornbro yang telah dia siapkan.

Sekarang loyalitas mereka goyah, hanya karena Aurel mendesain acara nonton bareng film Brownies di kantin. Emang sih filmnya udah lewat, tapi siapa yang bakal menolak disuguhin undangan yang didalamnya tertera:

Nonton Bucek Depp + Marcella Zalianty, minuman ringan segar, 1 kotak brownies, FREE!!

Benar-benar strategi yang hebat! Sehari sebelumnya, Aurel telah menempel selebaran: .

New Days have Come, combro yang kampungan berganti dengan brownies, kue yang manis dan romantis. Hub. Aurel Afni Sardina, III IPA1.

"Apa hebatnya acara kayak gitu?", Raffi melontarkan kalimat pertamanya setelah setengah jam lebih, manyun-manyun nggak jelas.

"Hebat dong! Nonton film Brownies bareng cewek-cewek sambil minum minuman ringan. Dapet brownies gratisan pula, Man!" ujar Robi.

"Kenapa juga ada film Brownies, sih? Kalo kayak gini, Aurel jadi sukses narik pelanggan-pelanggan, gee! Kenapa film itu nggak dikasih judul Combro aja? Terus, ada bagian yang nyeritain tentang pembuatan combro juga."

"Man, film yang judulnya Combro juga udah ada!" brownies Aurel, tapi keadaan grafik penjualan bener-bener berubah. Raffi hanya bisa menjual 10 sampai 20 buah combro setiap harinya. Sedangkan brownies Aurel makin laris. Padahal Raffi hanya menawarkan harga 500 rupiah per buah. Beda jauh dengan II brownies Aurel yang tiap kotaknya seharga 27 ribu rupiah atau dalam potongan kecil dua ribu lima ratus rupiah.

"Raff, sorry nih, Man. Kita sekarang sekolah di SMU yang kebetulan anak-anaknya tuh, sok elit. Gue akuin, brownies emang enak, rnanis, lembut...."

"Berkelas, terkesan romantis!"

"Nan, lu juga ngakuin kan?"

Tapi si Aurel itu sengaja banget mo ngancurin usaha gue. Lu tau, dia anak orang kaya, ngapain pake jualan? Bagj-bagi brownies gratis segala, jelas banget gak butuh duit, kan? Nah, gue jualan bener-bener karena gue butuh duit buat biaya sekolah," Raffi tampak serius. Ada kecemasan yang terlihat.

Beneran? Siapa aktornya?"

"Ringgo Agus Rahman, Denis Adishwara, Rizki Hanggono, Christian Sugiono... terus...."

"Woy! itu Jomblo!!”

"He he... sorry. Kernbali ke film Brownies. Si Marcella sama Bucek Depp gak bakal mau main film itu kalo judulnya diganti Combro. Jadi brownies memang pilihan tepat."

"Oke, oke! Gue nyerah. Filmnya boleh sukses, tapi browniesnya gak akan sukses di sini” Dada Raffi naik turun lagi. Uh, kayaknya, emosinya beneran memuncak, deh.

Hari ini baru hari ke lima pasca promosi Robi hanya menepuk-nepuk pundak Raffi, berusaha berempati.

''Masih ada gue, Raff. Gue pasti tetep setia ama combro lu"

"Sayangnya lu suka ngutang, Rob"

"Ha ha, bisa aja. Makanya, bokap lu seharusnya ngasih nama lu Herjunot Ali, biar jadi aktor, presenter. Bukannya Harjono Ali, ujung-ujungnya jualan combro. Beda nama, beda nasib. Man!"

Pagi yang cerah berubah riuh ketika Aurel menempel selebaran baru di mading. Isinya tentang kelebihan-kelebihan brownies, mitos romantis yang ditimbulkan setelah menelan sepotong brownies, bahan-bahannya yang mengandung banyak gizi. Tidak seperti combro yang luarnya singkong, isinya cuma oncom. Jenis makanan yang sama sekali tidak berpengaruh pada perkembangan kecerdasan apalagi tinggi badan.

"SIAPA YANG MENEMPEL TULISAN INI!!!" pekik Raffi begitu mendapati kertas itu. Isinya benar-benar nembuat dadanya bergemuruh.

"Gue. Dan yang nempel tulisan itu juga gue. Ada yang keberatan ya? Oh, si muka combro? Makanan kampungan!" jawab Aurel sinis.

"Jaga mulut lu, ya! Asal lu tau, kemerdekaan Indonesia gak akan tercapai kalo gak ada combro!!!" Raffi makin berapi-api.

"Ow, gituya?"

"lya dong. Coba gue tanya sama lu semua. Waktu nenek moyang kita mau perang, mereka makan combro apa makan Drownies? Pasti makan combro!"

"Bego ya?"

"Yee, ga' percaya! Bayangin, kalo musti bikin Brownies dulu, kelamaan, keburu ditembak. Singkong yang lu bilang gak ada gisinya itu lah, yang kasih mereka power!".

Heh, gue gak ada waktu buat ngeladenin ocehan lu yang gak penting. Kalo lu berani, kita bertanding. Mana yang lebih disukai, dia menang"

"Dan yang kalah?'"

"Yang kalah gak boleh jualan lagi"

"Ok, gue berani. Siapa jurinya?"

"Kepala Sekolah. Fairkan?"

"Hari senin besok"

"DEA-".

Bel panjang berbunyi tiga kali berturut-turut, waktunya bebas dari segala macam proses belajar-mengajar.

"Raff, lu duluan aja"

"Kena hukum lagi lu?"

"Yoi. hari ini gue gak bawa buku tugas biologi."

"So?"

"Hari ini ruang kepala sekolah yang harus dibersihin".

"Ha ha. Ya udah, gue duluan".

Raffi berlalu. Robi, siswa amburadul yang tiap harinya selalu mengisi buku Hitam meneruskan tugasnya tanpa wajah terbebani sedikit pun. Sudut demi sudut ia sapu.

"Ugh, jorok banget Pak Kepala Sekolah. Emmmh, tisu bekas, puntung rokok, bungkus jamu ram..ping..sing..set. WHAT? Pak Kepala Sekolah minum jamu ginian? Wah Hot news, nih." Robi sibuk mengomentari isi kotak sampah pribadi Kepala Sekolah.

"Eh, apaan nih?" Di bagian akhir proses hunting sampah Robi melihat bungkus salah satu narna obat yang sepertinya pernah ia lihat.

"Glibenclamide?”

Show t'me...

Semua siswa berkumpul di aula. Di sudut lain, dewan juri yang diwakili Pak Kepala Sekolah juga sudah siap. Semua menanti hasil akhir pertandingan Brownies vs Combro.

Raffi terlihat cemas. Sebenarnya Raffi sangat yakin combro buatan ibunya tidak akan terkalahkan. Rasanya sangat pas, meledak-ledak di lidah. Banyak yang setuju dengan statement itu. Tapi jika harus disandingkan dengan brownies dalam satu meja, orang pasti akan memilih brownies.

"Karir guo tamat hah ini .. maafin Raffi, Mak" gumam Raffi hopeless.

"Heh, muka combro! Besok-besok lu gak perlu repot-repot jualan.”

Kali ini Raffi hanya diam di hadapan Aurel. la sadar, argument apa pun tidak akan membantu.

"Sekarang gue tanya ya, Raff, kira-kira, lu bakal kasih apa ke cewek yang lu taksir? Brownies atau combro?" pertanyaan yang' cukup menyudutkan.

"Brownies, babe, don't give combro" bisik Aurel dengan mimik nyebelin. Langkahnya dibuat-buat seolah ia berjalan di red carpet.

"Lu musti tenang, Man!"

"Gimana. gue bisa tenang"

"Gue yakin lu bakal menang, Raff."

"Kalo gue menang, gue kasih lu combro gratis tiga buah setiap pagi selama seminggu."

"Hati-hati, Man. Banyak orang terbunuh karena mengumbar janji palsu"

"Gue serius, gue janji"

"Bagus, lu bakalan rugi"

Ketua OS1S maju dan mengambil alih mikrofon. Suasana berubah hening.

"Ya, langsung saja saya bacakan sistematika penilaian. Bapak Kepala Sekolah tidak perlu nilai rasa dan sebagainya.

Makanan yang disentuh dan dicicipi kepala sekolah langsung menjadi pemenang."

"Hey, gak bisa gitu dong, yang gue banggain dari combro gue kan rasanya. Siapa sih orang gila yang bikin aturan itu? "gerutu Raffi. Robi spontan melotot.

"Berisik lu, ah. Gue yang usulin"

"Lu gila, rob?"

"Ssst! Lu percaya deh ama gue. Hati-hati, Man. Banyak juga orang yang harus diamputasi gara-gara bilangin sahabatnya gila"

"Huh!"

Kepala Sekolah menghampiri meja. Wajahnya tampak ragu-ragu, melirik ke brownies... lalu melirik Combro.

Brownies... combro lagi.

Dan....

Semuanya tegang....

Dan...

"YAAAAA...H! ,COMBROOOOOO!" Suara ketua OSIS menggema seiring combro meluncur ke mulut Kepala Sekolah. Sorak gemuruh melengking meneriakkan Raffi dan combro bergantian. Memastikan combro Raffi keluar sebagai pemenang, dan secara otomatis menghapus ijin peredaran brownies Aurel. Gadis itu memaki dan meninggalkan ruangan bersama genknya.

Ditengah hiruk pikuk ucapan selamat, Raffi berbisik pada Robi.

"Hebat lu, Rob. Gimana lu bisa yakin gue rnenang”

"He he, waktu gue bersihin ruangan Pak Kepala Sekolah, gue nemuin obat yang sama dengan obatnya bokap gue. Obat untuk pendorita Diabetes. Jadi, gue tahu pak Kepala sekolah gak bakal berani makan brownies."

"Wah! Akhirnya hidup lu ada gunanya, Rob."

"Rese lu"

"He he..."


Kotabumi.03 Februari 2007.


CERPEN CAH PONDOK By NN

BENCI DAN CINTA BEDA TIPIS

Cowok itu selalu buat aku jengkel dan super benci. Setiap hari aku harus cuti dengan aktifitasku tu’ bertengkar tanpa guna dengannya. Tapi anehnya terkadang dia terlihat baik disuatu saat. Tapi g’ luput juga sih kalau dia juga suka jahilin aku.

“Riz…..ku piker-pikir lo uh ada banyak kemiripan deh ma si Rizky”. Ucap Ninan yang pagi itu aku dan dia sedang ngerjain tugas sejarah di perpustakaan.

“Ah…. Apaan sih lo?? Nggak mungkin lagi kalo aq harus cocok ma dia, cacing rese kaya’ gitu mah g’ ada baiknya dikit” jawabnya mungkir.

“Alah….. udah deh g;’ usah mungkirin, gue juga tahu ko’ begitulah cinta. Awalnya benci bsa jadi cinta”.

“Ah…. Udah deh! g’ penting . gue mau cari buku sejarah ah”.

Aq terbebas meuju jejeran buku yang tertata rapi. Tiba-tiba saat aq mulai menyentuh buku yang ku tuju terlihat tangan lain yang mengambil, Rizky, dialah cowok itu terjadilah aksi tarik menarik setelah beberapa saat tadi kami saling terkaget. Perang mulut pun terjadi.

“He…!! Kalo pacaran jangan disini !”. bentak pak Memet.

“G’ pak kita nih g’ pacaran”. Jawabku

“Iya pak” Rizky meyusul.

“Nih bukunya ta’ kembaliin” Rizky tiba – tiba mengembalikan buku yang di diakuinya dia dulu yang ngambil. Aku makin heran dengan anak itu Ko’ bisa ya dia jadi orag baik ?”. Gumam

**** **** ****

“Nin !!!” aku pulang dulu ya ? ada janji ma mama nih”.

“Mama apa cacing rese ?”. goda Nina yang jahil.

“Alah…… udahlah ku buru-buru nih” Aku berlalu dengan menuju rumah.

Sampe’ dirumah aq langsung ganti baju dan nyamperin mam.

“Ris ayo kita berangkat ke Malla nemuin tante Indi!” ajak mama

“Iya ma !” kami langsung menuju mall. Disana terlihat tante Indi yang sedari tadi nugguin di restouran mall dekat dengan tempat dikon baju. Tiba-tiba dari arah belakang terklhat seorang cowok yang sudah ta;’ asing lagi yah, dialah Risky. Aku makin bingung “n” penasaran. Mama langsung bercakap-cakap dengan tente Indi dan aq masih terdiam dengan posisiku.

“Ris… mama pergi belanja dulu ya ? kamu ma Risky ngobrol dulu biar bisa kenal deket” ucap mama. “Iya! Kamu juga ia” sahut tente Indi.

Mereka berlalu meniggalkan kami aq dengan Rizky tinggal berdua. “Ris…. Ikut aq yuk !!!” dengan nada sok akrab dia megajak q dengan menarik tanganq. Aq bingung “Apaan sih lo? Tarik – tarik gii! Sakit tahu!”.

“Udah deh ayo ! pokoknya dijamin kamu pasti seneng”.

Diajaknya aq ke luar mall dengan menaiki mobil, sesampainya ditempat itu disebuah taman yang tak begitu jauh dari mall, kami berhenti.

“Ris…. Aq pengen ngomong sesuatu. Tapi kamu jangan kaget ya ?”

“Ngomongh aja!” jawabnya ketus dengan penuh penasaran.

“Tahu g’ Ric…. Aq pengen ngomoing ini tuh udah dari dulu, tapi aq baru berani sekarang. Sebenarnya aq tuh suka ma lo!”

aq kaget dan bimang harus jawab apa. “Maksud l… tanyaku lagi.

“Iya, gue sayang ma lo..! maukah kau terima cintaq ris. Ucap Riska dengan nada memelas. Aku terdiam sejenak dan terlihat wajah cemas Rsiky. Aq pun akhirnya menjawab dengan menganggukkan kepalaq.

“Gue juga sayang ama lo”.

“Cowok nyebelin dan super duper kayak dia, huh nothing!. Jangan ngebahas dia deh sekarang, dah basi. Aku juga ng’ suka kalau kamu berusaha buat bikin aku sama daia temenan, apalagi pacaran. Ih, amit-amit !”.

“Loh, emang kenapa ?. Aku piker kalian berdua tuh pasangan srasi!” ucapnya sok tau.

“Idih, diatas dasar apa kamu bilang begitu? Plis deh Nin, aku sama dia kan musuhan!”

Yes I know, tapi simak baik-baik ! pertama, kamu ga’ pernah nyadar apa kalau nama kalian tuh mirip, kamu Riska dia Rizky. Kedua meskipun kalian bermusuhan udah lama, kan dia nolongin kamu berkali-kali.

Contohnya, waktu sekolah kita pergi kemping semigggu yang lalu. Kaki kamu terkilir kan? Dan dia yang gending kamu sampai ke tanda terus ngerawat kamu. Gitu – gitu juga, dia care sama kamu Ris, dan….”

“Tunggu, “selaku,”Tapi itu kan salahnya dia. Dia nyenggol aku sampe aku kepeleset, terus kaki aku trerkilir. Ya dia donk yang ngerti angung jawab !”.

“Iya, tapi dia mita maaf kan ? Dan yang ke tiga, aku ngeliat kalian bisa kompak lho waktu jadi panitia pensi!”.

“Iya itu beda. Waktu itu kita emang dituntt kerja samanya juga kekompakan, lha kalo ngga; gitu kita pasti kena sem,prot ketua panitia. Udahlah, laghian si cacing satuy itu juga ngga;’ pernah akur sama aku!” jelaskan pada Nina.

Ninan mengernyitkan dahi. Itu pertama kalau dia lagi mikirin sesuatu. Dia merawang ke langit-langit perpustakaan sambik senyam – senyum ngga’ jelas. Dan tiba-tiba aja Niana mengatalan sesuatu yang mebuat ingin muntah ….

“Apa kamu nga; lihat kharisma yang terpancar dari seorang Rizky ? Kalau dilihat-lihat, Rizky ganteng juga. Penampilannya Perfect, Risky emang keren !”.

“Tidaak !!” teriakku dalam hati. OMG ! kenapa rtemanku ini ? kesambet sdama hantu apa sih dia ? Nina sahabatku yang malang…. Tapi si cacing rese itu lumayan juga aksinya. Fansnya juga banyak. Rizky emang menarik.

“Ih, kenapa juga aku mikirin dia !”.

“Nah loh ketauan…, mikirin Rizky ya ? ngaku aja deh.

Suit….suit…. ! emang udah saatnya kalian damai, ha… ha…” celoteh Nina.

“Ssstt ! jangan berisijk, iniu perpustakaan, kalau kalian mau ngerumpi silahkan keluar !!” tegur penjaga perpus memperingakan.

“Maaf Pak”, sahtku dan Nina bersamaan.

Huw, gar-gara ngebahas cacing rese nyebelin itu, pak memet penjaga perpus marahin aku dan Nina. “udah ah, entar pak memet marah lagi kalau kita masih ngobrol !” bisikku.

“Oke deh sorry ya !”

“Ya udah, sekarang kita kerjain lagi tugasnya !”

duh, tugasnya banyak banget sih ? sejarah, nic pelajaran emang gampang – gampagsussah, pikirku, aku beranjak dari krsi tempat aku duduk. Aku memilih milih buku stu persatu dirak buk paling pojok. Pergerakan G 30 S/PKI, itulah buk yang sedang aku cari setelah aku cari-cari, akhirnya buku itu ketemnu juga.

“Nah, ini dia bukunya!” pas bukyu itu mau aku ambil, tang lain pun meraihnya. Ih, main comot aja sih niue orang, pikirk. Ketika mataku melihat lrus kedepan, ternyata orang yang mau ngambil buk itu adalagh …

“Rizky ?” aku kagt

“Riska?”

aduuh ! kenapa sih mesti cowok ini ? “Ini buk yang pertama ngambil tuh aku, jadi lepasin deh bkunya!”.

“Heh, apaan sih loe? Jelas-jelaa yang pertama ngambil tuh gue. Harusnya gue donk yang nyuruh loe buat lepasin buku ini!”.

Iih, rese banget sih ! klau kamu ayam, udah aku kuliti kamu terus aku potng – porting damn terakgir aku cemplungin kamiu keminyak goreng. Aku goreng kamusampai mateng terus aku makan, biar tau rasa ! Tapi, untung aja kamu cacing rese jadi, ngga’ mungkin au makan. Emm, diinjak aja kali ya, haha.. pikirk jail.

“He, kenapa loe liatin gue kayak gitu? Loe mau makan gue ya?” bentak dengan nada keras.

“Iya aku pengen banget makan kamu ! dsar rese loe, siniin nga’ bukunya ?” kataku sebal.

“Ngga’ !”

“Kamu tuh ya, Iih…” Terjadi aksi saling tarik menarik buku antra aku sama Rizky. Dan seketika aja aku teriak dan jatuh didadanya. Aku bisa ngerasain detak jantung Rizky, berpacu kencang. Dia ngga’; ngomong apa-apa tentang apa yang baru saja terjadi. Aku segera menjauh dari Rizky.

“Emmh, aku …” Tiba-tiba aja dari arah belakang, “Heh kalian ! kalau mau pacaran bukan disini tempatnya !” Pak Mamat kesal.

“Emh, gak kok pak, Ini loh, buku iniyang pertama ngambil tuh saya tapi malah direbut sama dia Pak ! protesku.

“Apa benar itu?” tanya Pak Memet pada Rizky.

Dengan tenangnya dia menjawab, “ Ia pak !”.

Hahh ? Dia bilang ia? Kok dia jadi baik sih ? jangan-jangan dia ngerencanain sesuatu buat ngerjain aku ? Aneh, ini benar-benar aneh !

Pak Memet mendekati rak buku dan mengambil salah satu bukyu. “Ini kan masih ada buku yang sama, kenapa ngga’ kamu ambil ?” tanyanya pada Rizky.

“Iya Pak, saya tahu”. Jawabnya sambil melirik kearahku.

Kemudian pak Memet memberikan buku itu padaku, lalu berkata”. Sekarang kalian kembali ke tempat dan ingat jangan ribut !”

Aku beranjak pergi lalu kembali ke tempat duduk. Aku masih bingung dngan sikapo Rizky tadi….

“Lama amat sih Ris ?” tanya Nina.

“Aku ketemu Rizky tadi!” jawabku datar.

“Tumben nggak manggil dia cacing ? oh, aku tau, terjadi sesuatu kan?” sidik Nina.

“Ngak, eh .. iyta sih tapi ngga’ penting, kamu juga, jangan bilang kalau…”

“Jodioh, kalian emang berjodoh . I see, I see ….” ucapnya memotong.

Oh my God !, tuh kan, kambuh lagi ! udahlah ngga’ usah di bahas….”.

“Yah, kok sewot gitu sig ? kalau gitu ya udah !”

terkadang Rizky cacing itu baik sama aku, ya aku akuin. Tapi dia juga ngga’ pernah absen kalau negjailin aku, sebel deh ?. hahh, hari ini aku cuup bingung sama Rizky dan Nina.

*** *** ***

“Teet …. Teeet…. Teeeet….”

Bel sekolah bunyi. Jam menunjukkan angka 13.30 waah, saatnya pulang nih. Untunglah, tugasku udah selesai dan tiggal dikumpulin aja di ketua kelas. Aku melangkahkan kakiku keluar dari perpustakaan. Tiba – tiba aku teringat psan mama supaya cepet pulang karena mama minta aku nemenin dia kemal. Aku bergegas menuju kekelasku dan siap – siap untuk pulang.

“Eh Ris, mo kemana ? Buru-buru amat ?” tanya Nina sambil memasukkan buku – buk kedalam tasnya.

“Iya nih, aku ditungguin mama dirumah soalnya mau pergi gitu!”.

“Oh .. kirain mo kencan ama cacing kesayanganmu itu ?!” goda Ninan.

Ya ampuun ! Ngawur mulu nich orang dari tadi. ABCDEFGH !”

“hah apaan tuh Ris?”

“Adh Bo capek deh eke’ frutasi giola huh ! yaudah, aku duluan ya!” Aku langsung pergi ninggalin Ninan yang masih ketawa cekakak cekikik dikelas. Dasar aneh !

Aduh, moga aja aku nga’ telat, kan aku udah janji sama mama. Aku sempatkan mataku untuk melihat jam tanganku dan buukk, terjadi tabrakan…

“Aduh soru – sori akuy ngga; sengaja, kamu ngga; kenapa – kenapa chan?” tanyaku pada cowkok yag jatuh tersungkur gara-gara aku tertabrak. Allu aku membantunya berdiri dan ketika mata kami saling beradu….

“Kamu ?” kataku kaget danlagsug melepas tanganku darinya.

“Elo ? makanya punya mata tuh dipake donk ! jangan dijadikan pajangan doing!” ucapnmya sinis.

Iiih, ko’ busa sih aku udah minta maaf. Mestinya kamun juga bilang thank sama aku karena dah bantuin kamu bertdiri !”

So what ?” Nie kan loe yang salah ! ngga; usah banyak cincong dech, gue lagi buru-buru, banyak urtusan. Minggir loe!” ucapnya sok merintah, yey, memangnya aku pembokatnya apa?

“Heh, bukan kamau aja yang lagi bnanyak urusan, aku juga janji alu leboh peting ketimang berdebat sama kamu!” Ucapkan lantang.

“Janji ? hah, terserah !” Ucapnya lalu pergi.

Swer deh, aku ngga’ ngerti dia ! pikirku. Kemudian akupun pergi ninggalin TKP, tempat kejadian perkara.

“Benci sama cinta tu bedanya tipis banget. Dari nggak demen. Dan itu bisa nimpa kamu !” kata-kata Nina masih mengegma ditelingaku. Tapi, kayaknya ngga’ peting deh mikirin Rizky si cacing tulalem itu. Karena belum tentu dia juga mikirtin aku

*** *** ***

akhirnya, aku nyampe rumah, kala bukan kerena tabrakan sama Rizky, aku pasti udah nyampe dari 10 menit yang lalu.

“Ma, mama…. Kita jadi pergi chan ??” teriakku begitu masuk rumah.

“Iya. Cepetan gih ganti baju soalnya ada yang nungguin kita disana!” Ucap mama lalu mengahmpiriku.

“Memang di tungguin siapa sih ma?” anyaku ingin tau.

“Tante Indi. Kamu masih inge khan?”

“Oh, masih dong ma, yaudah aku ganti baju dulu ya.. tunggu loh jangan di tinggal !” rengekku.

Secepat kilat aku meleset kekamarku dan segera bersiap-siap dan tanoa membuang waktu kami segera berangkat. Setelah 15 menit diperjalanan, akhirnya nyampai juga. Lalu tenbte Idi menghampiri kami. Kami saling menyapa sekedar say hai pa kabar.

“Riska, kartanya kamu satu sekolah sama anak tante ?” tanya tante Indi.

“Emm, siapa ya Tan?”

“Nanti sajalah,sekarang kita kedalam aja dulu, yuk !” ajak tente Indi.

“Mari Tante !” dan kami pun langsung menjelajahi mal, dimulai dari took baju yang lagi diskon.

“Hai ma, sori telat,” kata cowok yangbmemanggil mama kepada tante Indi. Tapi sepertinya, suara ini dah ngga’ aing lagi deh dfitelingaku? Kalau ngga’ salah, ini suaranya….

“Riska?” seru seorang cowok diblakngku.

Aku berbalik dan, “Kamu ? Ngapain kesini ?” tanyaku kaget

Tiba-tiba tente Indi mendekati kami. “Nah, ini Eizky anak tante kamu kenalkan ? Rizky memang satu sekolahan/”

“Emm iya tante kami memang satu sekolahan !” jawabku kaku.

“Kalau gitu kalian ngobrol-ngobrol aja dulu, mama sama tante mau nerusin belaanjanya, ya !” klata maama lalu poergi niggalin aku sama cowok yang tengah berdiri di sampingku. I menit, 2 menit, 3 menit….. huuuh, ngga’ bisa kayak gii terus, diem-diema. Mesti ada yang ngomong duluan nih, bete ! keluhku dala ati.

Tba-tiba aja Rizky membuka pembiucaraan. “Ge ngga; nyangka kalau elo anaknya tante Winda”.

“Huuh, akhirnya….” Aku juga ngga; nyangka kalau kamu ankanya tante Indi yang baik itu”.

“loh, emang gue ngga’bai ?” tanyanya cuek.

“Ya gitu dech !” jawabku. Setelah it dia langsung pergi nyamperin mamanya. Huh dasar anak mami tukang ngadu. Baru digertak dikit aja ngabek.dasar cengeng ! tapi kok dia balik lagi sich ? apa mungkin dia mau ngedakwa aku ?!.

“Kemana sih? Lgian, tadi kamu bilang apa sama tante? Nadu ya? Ga’ Gentle!

“gue ngga;’ ngadu, cuja bilang kalau kita mau cabut duluan!”

“Loh kok ?” aku bingung.

Risky menatapku lalyu memegang tanganku. “Ayolah nona manis, gue mau ngajak loe ke suatu tempat yang pasti loe suka!”

Hah, apa aku lupa ngeberesin telinga aku ya? Aku denger dia panggil aku nona manis? Dia bener-bener aneh hari ini. Tapi nga’ tau kenapa aku nga; bisa nolak. Cowokm jangkung itu tersenyium lalu narik aku pergi. Jantungku berdetak keras. Deg ! Deg! Deg! Dia ngga’ pernah ngelepas tangan aku walau sedetik.

“Danau ? wow, indah banget kalau dilihat dari sini”.

“Iya. Gue selalu kesini kalau gue lagi punyamasalah. Dan loe, loe adalah orang perama yang gue ajak!” jhelas Rizky.

Rizky hari ini terlihat beda. Dia jadi ramaha dan romantis. Dari pertama, aku kagum sama dia. Aku mngerasa,dia tuh beda sama cowok-cowok lain.

“Seenarnya kamu tuh kenapa? Kok lain sih ? apa kamu lagi ada masalah makanya kam ngajak aku kesini?” tanyaku penasaran.

Izky terlihat resah. Dai menatapky, seperti magnet yang sulit untuk terlepas. “Ris, gue punya masalah sama perasaab gue. Gue sulit untuk bolang saa sorang cewek. Gue tertlalu pengecut. Gue ngga’ berani ngfedenger kata penolakan dari cewek. Itu sebabnya gue masih berstatus jomblo sampai sekarang, meskipun banyak cewek yang nguber-nguber gue dengan segudang perhatian yang mereka kasih ke gue. Sa,poai pada akhirnya, gue kenal sama seorang cewek, dan gue suka sama dia. Menurut loe, ge mesti giaman ?.

Aku tersentak kaget mendenarnya. Kenapa dia nanyain hal itu ke aku? Padahal, aku kan….

“Ris, ko’ loe diem sih? Ayo jawab, gue mesti fgimana?” tanyanya lagi.

“Hah apa? Oya, menurut aku sih, kamu jangantakut untuk bilang suka sama dia, karena belum tentu dia nolak kamu. Kalauy ditolakpun, itu udah jadi resikonya. Dengan ngomong ke dia, kamu akan ngerasa lega krena udah nga’ ada beban lagi”.

Tiba-tiba, tangannya menggenggam tanganku. Tatapanya menunukkan kalau dia bersungguh –sungguh. “Gue emang pengecut. Tapi gue ngga’ mau kehilagan cewek yang gue sayang. Dan hue akan lakuin itu sekarang”.,

“Sekarang ? maksud kamu ?”

“rtis, cewek yang gue maksud tu…. Elo! Gue suka sama elo, dan gue ngga; mau kehilangan elo. Ris, apa elo mau nerima cinta gue? Ini tulus Ris, tulus darihati yang terdalam…. “ suaranya terdengar lembut dan megharap kepastian.

Aku bingung harus ngomong apa ? Aku ngga’ nyangka ternyata cewek itu adalah aku. “Sebenarnya aku kaget. Ya, aku ngga’ nyangka kalao kamu suka aku. Maaf, tapi sepertinya…. Aku ngga’ bisa…..”

“Gue tau ko’, apa yang akan loe bilang. Loe ngga’ usah terusin gue.. gue… “ tuturnya terbata-bata.

“Kenapa ? takut ?” tanyaku. Rizky hanya menawab dengan anggukan pelan.

“Ky, aku kan belum selesai bicara. Aku pengen bilangbkalkau… aku ngga’ bisa …. Nolak cinta kamu karena aku juga sinta sama kamu!. Dan au seneng banget pas kamu blang cinta sama aku.